Bagaimana cara mengabstraksi dan mengonversi teks cerita pendek
B. Indonesia
fisari1153
Pertanyaan
Bagaimana cara mengabstraksi dan mengonversi teks cerita pendek
1 Jawaban
-
1. Jawaban faradillacd
Kala bulan bercahaya dengan cahayanya yang terang tapi tak menyilaukan bersama hembus angin yang sejuk. Terusik lamunanku saat terngiang sebaris kata ayah yang selalu berulang menelusup ke telingaku, “Nanda, kamu pasti bisa!” Kata-kata ayahku laksanakan meriam di rongga dadaku. Setiap kuingat kata-kata itu semakin berat beban kurasakan, terlebih urutanku sebagai sulung dari lima besaudara. Tidak mudah bagiku menjadi sulung. Kurasakan pula beban kedua orang tuaku yang semakin menjadi. Ayah, di luar segala kewajiban sebagai PNS, terlibat aktif di dunia jurnalistik dan organisasi. Tidak mengherankan jika bunda terpaksa turun tangan untuk menopang keuangan keluarga dengan membuka sebuah warung kecil-kecilan. Padat aktivitas ayah dan bunda terekam kuat dalam benakku. Kerja keras seakan menjadi menu wajib bagiku.
Padatnya aktivitas ayah dan bunda terekam kuat dalam benakku. Kerja keras seakan menjadi menu wajib bagiku. Namun, ada hal yang menjadi titik lemahku. Dua kali tangisku pecah ketika cita-citaku tak tersampaikan.
Ketika mentari dari ufuk timur bertahta bersama embun, aku jadikan langkah awal tukku menyajikan menu wajib itu (bekerja keras), yaitu aku langkahkan kakiku membawa alat tulis dan kesiapan pengetahuanku serta mental.
“Aku siap ujian tes tertulis untuk masuk fakultas kedokteran,” kata-kata yang terucap dalam pikirku yang terucap bersama semangatku dan sejuknya udara kala itu.
Selang waktu aku menunggu pengumuman kelulusan tes ujian tertulis fakultas kedokteran aku selalu berdoa kepadaNya, agar aku lulus dalam tersebut. Tepat empat hari waktu berlalu dari hari pelaksanaan tes yang aku laksanakan waktu itu, telah tertera pengumuman kelulusan tes ujian tertulis fakultas kedokteran di mading.
“Ya Allah terima kasih atas kuasaMu kini aku telah diterima di fakultas kedokteran yang aku impikan.” Syukurku atas kuasaNya dengan sujud syukur.
Setelah dinyatakan bahwa aku lulus ujian fakultas kedokteran, pihak TU mengabariku bahwa esok hari aku dan orang tua wajib hadir ke kampus untuk tes wawancara dan memenuhi biaya pendaftaran.
Sesampaiku di rumah kumenghadap ayah dan bunda serta menyampaikan kabar gembira, bahwa diriku diterima di fakultas kedokteran.
“Ayah, Bunda, Resti diterima di Fakultas Kedokteran, besok pagi Ayah dan Bunda datang ke kampus ya untuk transaksi pendaftaran kuliah Resti.” Kataku dengan lembut dan memohon agar ayah dan bunda mau memenuhi apa yang kuinginkan.
“Tapi kita tak cukup uang untuk kamu masuk Fakultas Kedokteran. Sabar ya, Nak!” ucap Bunda lembut tetapi pasti.“Ya sudah Bun, saya mengerti.”
Tak larut ku dalam kesedihan, dan aku melangkahkan kaki dan tekadku tuk mendaftar STPDN. Namun belum-belum kumendayung apalagi melalui satu pulau aku sudah tenggelam dan terhampar dalam impianku yang satu ini. Tenggelamku, kegagalanku dalam pendaftaran STPDN ini karena satu syarat yang tak terpenuhi oleh diriku, yaitu kurangnya tinggi badan.
Untuk mengobati luka hatiku, kuputuskan untuk membantu bunda menjaga warung. Ternyata pekerjaan sesederhana sebagai jembatan bundaku mencari nafkah ini membawa banyak pelajaran kehidupan, bagai pohon cabai, meski kecil buahnya pun banyak dan berguna. Maka dari itu di sisiku menjaga warung, sedikit demi sedikit kubelajar dari ketegaran bunda dalam menghadapi kesulitan hidup.
Sering kali ketika gelapnya malam dan kemerlap bulan bintang menjadi teman setia bunda, untuk menyambung helai-helai kain perca dengan benang-benang lembut dan tajamnya jarum, yang akan ia rubah menjadi bed cover tuk dijual. Habis gelap terbitlah terang, bunda mulai melangkahkan kakinya tuk menawarkan bed cover yang iya jahit dengan ketulusan dan kesungguhan hati tersebut dalam keramaian pembeli dan pedagang.
Tiada putus doaku kepada Sang Khalik agar bunda senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin, serta agar kehidupan kami lebih baik dari kehidupan detik lalu dan detik ini.
Dua kegagalan yang lalu berakhir ketika aku diterima di jurusan bahasa Inggris. Kutekuni masa pendidikan tinggi dengan sepenuh hati. Kendala finansial mendorongku untuk merambah dunia kerja di samping kuliah. Pucuk dicinta ulam tiba. Suatu hari Kak Ica, saudara sepupuku, datang kepadaku. Menawarkan tuk bekerjasama denganku.
“Nanda, di sebelah toko Bunda ada kios yang dijual. Bagaimana kalau kita patungan untuk membeli kios itu, lalu kita jual pakaian di san?” kata Kak Ica.
“Wah yang benar saja Kak? Terima kasih Ya Allah, Kakak tepat waktu banget deh, ya sudah aku setuju, kebetulan banget aku sedang membutuhkan pekerjaan tuk meringankan beban orang tua membiayai kuliahku.” Jawabku dengan riang.
“Iya, yasudah besok kita datang ke kios itu ya, lalu kita tata rapi untuk kita jualan.”
“Oke sip Kak.”
maaf kalo salah