Sejarah

Pertanyaan

karakter Bani Umayyah setelah masuk Islam adalah?

1 Jawaban

  • Sebutan Daulah Umayyah berasal dari nama “Umayyah ibn ‘abdi Syam Ibn Abdi Manaf, salah seorang pemimpin suku Quraisy pada zaman Jahiliyah. Bani Umayyah baru masuk Islam setelah Nabi Muhammad saw. berhasil menaklukkan kota mekkah (Fathu Makkah). Sepeninggal Rasulullah, Bani Umayyah sesungguhnya menginginkan jabatan pengganti Rasul (khalifah), tetapi mereka belum berani menampakkan cita-citanya itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Baru setelah Umar meninggal, yang penggantinya diserahkan kepada hasil musyawarah enam orang sahabat, Bani Umayyah menyokong pencalonan Usman secara terang-terangan, hingga akhirnya Usman terpilih. Sejak saat itu mulailah meletakkan dasar-dasar untuk menegakkan Khilafah Umayyah. Pada masa pemerintahan Usman inilah Mu’awiyah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya, dan menyiapkan daerah Syam sebagai pusat kekuasaannya di kemudian hari.[1]

    Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah Bin Abu Sufyan pada tahun 41 H- 661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H-750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal, ahli administrasi, wawasannya luas bijaksana, dan dermawan. karir pertama dari pengalaman politiknya sebagai gubernur Syam pada masa khalifah Utsman bin Affan cukup mengantar dirinya mampu mengambil alih kekuasaan dari genggaman keluarga Ali bin Abi Thalib. Tepatnya setelah Husein putra Ali bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah.

    Ketika Ali bin Abi Thalib naik menggantikan kedudukan Khalifah Usman bin Affan, Mu’awiyah selaku gubernur di Syam (Syiria) membentuk partao yang kuat, dan menolak untuk memenuhi perintah perintah Ali. Dia mendesak untuk membalas kematian khalfah Usman, atau kalau tidak ia akan menyerang kedudukan khalifah bersama-sama dengan tentara Syiria. Desakkan Mu’awiyyah akhirnya tertumpah dalam perang Shiffin (37-657). Dalam pertempuran sengit antara pasukan Ali dengan Mu’awiyyah itu, hamper-hampir pasukan Mu’awiyah terkalahkan. Tetapi pada saat yang demikian, Amr Ibn Ash menasehati Mu’awiyah agar pasukannya mengangkat mushaf-mushaf al-Qur’an di ujung lembing-lembing mereka pertanda seruan untuk damai. Ali menasehatkan pasukannya, agar tidak tertipu dengan tindakkan itu, dan meneruskan peperangan sampai akhir, tetapi malah terjadi perpecahan di antara mereka sendiri, sehingga pada akhirnya Ali terpaksa menghentikan perang dan berjanji untuk menerima Tahkim. keputusan yang dihasilkan  oleh wakil Ali (Abu Musa al-Asyari’) dan pihak Mu’awiyah (Amr Ibn Ash) ternyata membantu memperkuat kedudukan Mu’awiyah dan golongan yang mendukungnya.[2]

    Peristiwa Tahkim yang merugikan Ali , mengakibatkan banyak pengikut Ali telah ingkar yang di kemudian hari disebut kaum Khawarij. Oleh karena itu umat Islam pada saat itu terbagi menjadi tiga golongan :

    Bani Umayyah dipimpin oleh Mu’awiyah Syi’ah atau pendukung Ali, yaitu golongan yang mendukung kekhalifahan Ali Khawarij yang menjadi lawan kedua partai.

    Kaum khawarij selalu berusah untuk merebut masa Islam dari pengikut Ali, Mu’awiyah dan ‘Amr, sebab mereka yakin bahwa ketiga pemimpin ini merupakan sumber dari pergolakan-pergolakan. Tekad mereka adalah membunuh ketiga tokoh di atas. Pada tanggal 20 Ramadhadan 40 H (660 M) salah seorang Khawarij berhasil membunuh Ali di Masjid Kufah, yang berarti pula mengakhiri masa pemerintahan Khulafa ar-Rasyidin.

     

Pertanyaan Lainnya